Menanggapi TKW

Barusan lihat video di youtube soal aksi bales-balesan video TKW sama suaminya yang lagi heboh. Kejadian ini dimulai saat ada tiga orang suami yang ditinggal kerja ke luar negeri sama istrinya. Dia bilang ditinggal istri kerja di luar negeri tu enak. Penak? Peeeenak!! Hape canggih, kerjaan cuma facebookan sama ngrokok, gak usah ngurusin sapi, minumnya extrajoss. Kalo duit sama pulsa habis tinggal telpon istri di luar negeri sana. Lihat video itu, 3 orang TKW di Taiwan bales bikin video kalo kerja di luar negeri itu enak. Penak? Peeeenak! Gak pernah bersihin WC, facebookan 24 jam, kerjaannya cuma dandan sama ke salon (dibuktikan dengan rambut yang di cat pirang dan rebonding) tapi gajinya 6,5 juta sebulan. Dengan beredarnya video itu, banyak reaksi TKW dari berbagai negara dan suami yang ditinggal kerja mengunggah video yang intinya kerja itu baik di luar negeri ataupun di Indonesia sama-sama beratnya. Tapi tetep aja jadi ajang pamer penghasilan sama gadget yang mereka punya.

TKW sukses (source)

Tahun lalu, aku pergi ke Singapore backpackeran sama temenku (pastinya cari tiket promo juga) dengan berbekal Lonely Planet. Kami emang gak pake agen wisata biar hemat dan fleksibel aja waktunya. Di pesawat kami sebelahan sama mbak-mbak yang tampilannya biasa aja. Yang aku lihat, orang Indonesia kebanyakan jadi sok penting dan sok sibuk kalo lagi mau naik pesawat, sibuk update disana sini biar semua orang tau kalo dia lagi mau naik pesawat. Apalagi mau ke luar negeri. Pasti dandan abis-abisan, yang cowok sok cool pake baju paling bagus yang ada di lemari, yang cewek sok-sokan childish bawa-bawa boneka. Tapi buat orang-orang yang sering bepergian pake pesawat, udah gak ada lagi kayak gituan. Paling mereka nungguin pesawat sambil baca buku atau tidur. Dah bosen pamer, kecuali yang emang bakat sejak lahir. Back to mbak-mbak tadi. Setelah ditanya ternyata dia lagi mau kerja ke Singapore, dia gak sendirian, ada sekitar 6-7 orang yang berangkat sama dia.

Setengah perjalanan Bandung-Singapore, kru kabin membagikan form imigrasi Singapore yang berbahasa Inggris buat diisi biar ngantri di bagian imigrasi gak kelamaan. Soalnya yang masuk Changi pasti berurusan sama imigrasi (yaiyalah, bandara se-Singapore cuma atu-atunya). Kami mengisi form dengan riang gembira. Begitu kami selesai, si mbak calon TKW ini minta diajari ngisinya, mbaknya gak tau name, date of birth, age, nationality, dll harus diisi dengan apa. Huwaaa. Semua diajarin sama temenku. Lah gimana?? masa mau kerja di negara yang berbahasa Inggris tapi bahasa Inggris standar aja gak bisa? Bisa aja kan ditipu, kalo temenku iseng gimana ya? Date of birth (mm-dd-yyyy), ini diisi jumlah ayam, jumlah kambing sama jumlah bebek yang di rumah mbak. Terus mbaknya ngisi 15-2-20, pasti bagian imigrasi cuma bisa geleng pala, mana ada bulan ke-15.

Di bagian imigrasi ngantrinya panjang, padahal ada banyak petugas. Emang lagi rame mungkin ya. Sambil ngantri kami lihat mbak-mbak tadi sama rombongannya gak ngantri malah di luar area pengantrian lagi ditanya-tanya sama petugas, sebelumnya yang nyamperin adalah petugas yang pake bahasa Inggris, begitu tau mereka dari Indonesia, si petugas minta temannya yang bisa bahasa melayu buat tanya-tanya ke mereka. Lalu mereka dibawa ke suatu ruangan. Di bagian imigrasi, aku dilayani mbak-mbak keturunan India. Cuma ditanyain berapa hari disini, sama mau tinggal dimana kemudian paspor dicap. Untungnya aku sudah booking hotel sebelumnya. Kalo belum mungkin aku bakalan dikira TKW illegal yang pake paspor wisata.

Setelah urusan imigrasi selesai, lapar melanda dan dari kejauhan lihat plang Burger King. Kami kesana buat mengisi perut sebelum kami mencari tiket MRT yang bakal jadi transportasi utama kami. Sewaktu berjalan menuju kesana, ada yang manggil, "Mbak! Mbak!". Di Singapore ternyata nyapa orang juga pake "Mbak" hahaha. Ternyata rombongan calon TKW tadi. Kelihatannya lagi kebingungan, kami berhenti lalu menghampiri. Salah seorang dari mereka tanya,

TKW: "Mbak, kalo nunggu agen dimana ya?"
Aku: "Wah, gak tau mbak. Saya juga baru pertama kesini. Emang kesini gak ditemenin agen?"
TKW: "Gak mbak, katanya disini bakalan dijemput. Tanya petugas juga gak paham sama bahasanya"
Aku: "Dikasih nomor teleponnya gak mbak?"
TKW: "Enggak mbak"
Aku: "Coba telpon agen yang di Indonesia"
TKW: "Kita gak punya juga"
Aku: "Wah, kalo gitu maaf mbak saya gak bisa bantu"
TKW: "Iya mbak gak papa"
Aku: *minta permisi*

Maaf mbak saya gak bisa bantu apa-apa. Terkatung-katung di negeri orang yang bahasanya aja gak ngerti. Salah siapa coba? Kalo dirunut ya salah semua. Si agen entah itu agen TKI beneran atau cuma agen-agenan, gak membekali calon TKW dengan bahasa yang baik. Mungkin bahasa-bahasa yang standar aja bisa lah ya, biar tau dia disuruh apa. Si calon TKW juga salah, cuma berbekal kegemblingan berani ke negeri orang. Di luar negeri, paling gak kuasain bahasa standar negara yang mau dituju. Atau kalo mau aman ya pake bahasa Inggris, yang standar pun gak papa. Yang kedua adalah melek internet. Dengan google doang, bisa lah cari info Kedubes RI yang disitu, tapi sayangnya aku gak kepikiran waktu itu. Kedubes RI adalah tempat mengadu yang paling tepat kalo kenapa-kenapa di luar negeri.

Balik ke TKI-TKI yang saling hujat tadi. Sebagai orang kampung yang sama-sama cari makan dengan merantau, I feel you! Kerja di tempat orang itu emang gak gampang. Tapi tetap harus dijalani gimanapun kerasnya demi kelangsungan hidup. Sayangnya, mindset orang kampung tu kalo dah kerja di perantauan pasti sukses dan berduit banyak, aku merasakan sendiri. Baru kerja beberapa bulan dah di telponin sodara-sodara jauh buat minjem duit, mereka emang hidup tidak berkecukupan. Kenapa aku pake kata "tidak berkecukupan" bukannya "kekurangan"? karena sebenarnya kalau mereka merasa cukup, gak bakalan ada acara pinjem duit. Teringat perkataan Alm. Bob Sadino, "bergayalah sesuai isi kantongmu", dan itu gak berlaku buat mereka. Baru kerja beberapa bulan, gaji baru cukup buat kebutuhan sehari-hari yang harganya lebih mahal daripada hidup di kampung dah diminta minjemin duit. Nabung juga belum bisa. Untungnya orang tuaku gak mikir gitu karena mereka tau gaji fresh graduate seberapa. Mereka gak minta dikasih, karena dengan aku menghidupi diri sendiri, beban mereka juga semakin ringan. Tapi kalo dikasih ya gak ditolak. hahaha

Di video 3 TKI tadi, ada yang bilang kalo udah betah di Taiwan, hidupnya enak. Kemudian dibantah sama bayak TKI lain dari berbagai negara. TKI itu kerja cuma jadi pembantu, mana ada TKI yang gak pernah bersihin WC? Jangan sombong *kemudian ngasih tau gajinya 7 juta*, podo wae pamer kowe mbak! Kerja yang paling enak adalah dekat dengan rumah, kenapa? karena kita punya tempat untuk pulang. Atau paling tidak kalaupun harus merantau ya gak usah jauh-jauh. Walaupun teman jadi keluarga, tapi kalau kita sakit gak ada yang lebih sabar merawat kita dari ibu kita kan? Emang orang merantau itu paling merana kalo lagi sakit.

Tapi merantau juga bagus kok. Kita tau arti penting keluarga buat kita. Saat pulang adalah saat yang paling istimewa. Dengan tidak adanya orang terdekat, kita jadi orang tangguh yang dapat bertahan hidup dimana saja. Dengan tidak adanya orang yang setiap saat bisa diandalkan, kita jadi orang yang mandiri. Dengan adanya ketidakpastian besok mau makan apa, kita jadi belajar bersyukur. Dan dengan tidak adanya tempat untuk bersandar, kita jadi tambah bertakwa.