Aku dibesarkan
di keluarga yang sangat sederhana. Bapak dan ibuku adalah seorang petani
tembakau di Temanggung sana. Temanggung? Dimana itu? -__-
gambar dari sini
Temanggung emang
bukan kota kabupaten yang terkenal,
eh tapi dua tahun lalu sempet terkenal ding, soalnya jadi tempat persembunyian
teroris. Helehhh…. Temanggung itu letaknya di Jawa Tengah bagian tengah. Nahloh,
pokoknya tengah-tengahnya Magelang-Kendal. Temanggung itu terletak dataran
tinggi, makanya udaranya dingin. Kalo pagi-pagi keluar terus ngomong dari mulut
kita sampe keluar asep putihnya. Dengan iklim yang bagus plus tanah yang subur
makanya daerah ini menjadi area pertanian yang subur.
Salah satu
komoditi yang hidup di dataran tinggi adalah tanaman tembakau. Bapak ibuku
adalah salah satu petani tembakau. Dengan mengandalkan sawah pemberian orang
tua yang cuma beberapa petak, dimulailah kehidupan keluargaku. Sewaktu aku
berumur 1 tahun, dengan uang yang terkumpul tak seberapa bapakku membuat rumah
di tanah keluarga. Dengan tukang-tukang bangunan yang tak lain tak bukan adalah
bapakku sendiri dan dibantu adik-adiknya. Bapak dan ibuku keduanya adalah anak
sulung, jadi leluasa memanfaatkan adik-adiknya, hahaha. Sesekali juga ada
tetangga berbaik hati membantu. Rumah yang dibuat bukan rumah gedongan yang
bertingkat, bukaaan, sama sekali bukan. Rumah dari anyaman bambu dan lantai
tanah. Cuma bagian depan yang dindingnya dari papan-papan kayu.
Yak, emang
begitulah kehidupan keluarga petani. Rumah yang seperti gubug itu pun ditempati
kami bertiga. Untung aja atapnya bukan dari daun rumbia. hahaha. Setahun berlalu,
mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, pada tahun kedua bisa ngasih jendela
yang tadinya Cuma bolongan ditutupin anyaman bambu sama ngasih langit-langit
yang tadinya kalo ngedongak keatas langsung lihat genteng. Tahun berikutnya
bisa ngelapisin lantai tanah pake semen, ganti dinding yang masih anyaman pake
triplek, dan seterusnya.
Tapi walaupun
hidup sederhana, semua kebutuhanku tercukupi. Orang tuaku emang menomorsatukan
anak-anak mereka. Dulu, hiburan di rumah cuma ada radio aja. Tiap pagi siang
sore malem yang ada cuma radio. Karena saking seringnya dengerin radio, aku
jadi hafal beberapa lagu anak-anak dan ada salah satu lagu yang aku senengin,
waktu diputer di radio dan habis, aku langsung nangis minta diputer lagi. Dasar
anak kecil, mana bisa diulang-ulang seenak udel?!? Seminggu begituuuuu terus,
sampe gak tega bapakku. Akhirnya dibeliinlah tape plus kaset-kaset lagu
anak-anak. Selain itu karena emang aku suka nyanyi pas kecil, bapakku sengaja
beli kaset kosong buat ngrekam aku nyanyi. Ahahaha. Jadi ketawa sendiri inget
kalo nyanyi sampe uratnya keluar semua.
Terus ada
lagi, pas diajak pergi ke suatu tempat, lihat ada anak kecil seusiaku sepedaan
pake sepeda roda tiga. Aku pengen, minta ke bapakku. Kayaknya bapakku cuma bisa
mengelus dada, nih anak pinginan banget sih?? Terus dijanjiin bakalan dibeliin
sepeda roda tiga kalo dah selese panen tembakau, makanya bantuin berdoa ya
supaya panennya buanyak. Emmm *mengangguk
Tembakau itu
dipanen dalam beberapa tahap, diurutkan berdasarkan umur daun. Daun yang lebih
diatas itu lebih muda, belum bisa dipanen. Panen pertama biasanya adalah daun
yang letaknya paling bawah dan dekat dengan tanah. Jadi daun paling bawah itu
adalah daun paling kotor yang biasanya belum bernilai tinggi. Ketika panen
pertama tiba, seneng banget dong diriku. “Pak, aku bantuin ya, besok bial bisa
buat beli sepeda loda tiga”, begitu tiap hari sampe yang denger bosen. Untuk proses
pengolahan daun tembakau, setelah dipetik daun kemudian diikat, biasanya 20-30
daun diikat jadi satu, setelah itu daun diletakkan di suatu tempat yang kering,
kemudian dibiarkan 3-5 hari agar daun layu dan menguning. Setelah menguning,
daun dirajang tipis sebesar mie kemudian ditata tipis pada papan penjemuran dan
dijemur selama 2 hari. Setelah itu, barulah tembakau yang udah kering di pack
menggunakan keranjang khusus dan dibawa ke gudang. Penentuan harga dilakukan
sebelumnya pada saat tembakau dijemur, biasanya ada tengkulak yang berkeliling
mencari “barang”. Tengkulak menaksir harga tembakau dari bau, warna dan
tekstur. Setelah menawar harga, kemudian petani diberi semacam “tanda terima”
yang berupa kesepakatan besaran harga yang ditandatangani oleh si tengkulak. Jika
sudah siap, maka tembakau yang sudah di pack dibawa ke gudang milik tengkulak untuk
diperiksa sama apa tidak kondisinya saat masih dijemur dengan yang udah kering.
Kalau ternyata kurang kering, maka harga bisa dipotong SETENGAHNYA!!
Di gudang,
tembakau di periksa dan ditimbang sehingga bisa dihitung jumlah uang yang bisa
dibawa pulang oleh petani. Eittsss, tapi jangan salah, bukan terus kalo
beratnya 50 kg dibayar 50 x harga per kilo, banyak potongan-potongan yang aku
sendiri gak hapal apa aja sehingga petani paling cuma mengantongi uang 70%
saja. Lha yang 30%? Ya buat tengkulak. Begitulah kehidupan petani indonesia,
pantes gak makmur-makmur ya…
Sehabis pulang
nganterin tembakau, pulang-pulang bapakku bawa sepeda roda tiga. Wowww…
sebenernya ibuku protes, kenapa malah buat beli sepeda? Padahal seharusnya uang
yang didapet buat modal buat panen selanjutnya, panen juga butuh modal brow,
transportasi, makan, bayar buruh, dll. Eh malah buat beli sepeda dulu, untung
juga belum seberapa karena baru panen pertama, jadinya setengah dari hasilnya
cuma dapet sepeda roda tiga. Tapi bapakku bilang gini “emang untungnya gak
seberapa, tapi masa nunda kesenengan anak sih? Apa gak miris denger anak tiap
hari mimpiin sepeda roda tiga terus? Modal panen biar jadi tanggunganku besok”,
begitulah bapakku.
Sepeda langsung
aku bawa bermain, dan temen-temenku pada pengen karena mereka belum punya. Mereka
nasibnya juga sama, sama-sama anak petani tembakau. ahaha

Jadi kangen juga sama ayah ibuku, :(. dulu juga mell pernah ngerengek minta sepeda dan baru dibelikan pas kelas 3 SD. sekarang sudah g ada tempat untuk bisa ngerengek lagi, walau hnya sekedar untuk curhatpun ;(. semoga ayah ibu mba sehat selalu ya, Aamiinn ({})
ReplyDeleteaamiin. kamu jadi orang tua aja mel, biar ada yang ngerengekin. hihihi
ReplyDelete